Total Tayangan Halaman

Senin, 31 Januari 2011

MEMPRIHATINKAN


Desa Tegaldowo, Rembang
Memprihatinkan, usia SD sudah Banyak yang Menjanda

Temuan seorang mahasiswi ketika kerja sosial di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Rembang ini sungguh memprihatinkan. Mungkin di berbagai daerah di pedesaan-pedesaan fenomena nikah pada usia kanak-kanak, lalu sebentar kemudian bercerai bukan hal aneh. Tetapi benarkan masih ada di era modern ini??

Adalah Ninok, mahasiswi di Yogyakarta yang sedang menjalani kerja sosial mengajari tulis baca hitung (calistung) di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Rembang ketika menemukan anak-anak kecil jadi pengantin. Saat itu tepatnya pada 2006, ia yang tinggal disebuah rumah penduuduk tempat, di ajak ibu asuhnya menghadiri pernikahan. sampai dirumah yang punya hajat, ia heran karena tak melihat pengantin perempuan di pelaminan. Ketika ditanyakan, induk semangnya menunjuk bocah cilik yang sedang asyik berlarian, bermain petak umpet dengan teman-teman usia sebayanya. 
Melalui blognya Ninok menulis keterkejutannya. Bocah cilik tak lebih dari usia 10 tahun itu sudah dijadikan pengantin? Sedangkan pengantin laki-laki berusia 20-an tahun. “Saya bengong,nggak bias komentar,”tulis Ninok. “Saya yang 20 tahun saja belum berpikir ke sana, apalagi dia?”
Setelah beberapa lama tinggal, ia dibikin terkejut lagi. Beberapa anak SD ditemukan sudah menjadi janda, lainnya ada yang sudah dipanjer (diberi uang tanda jadi-Red) untuk dijadikan istri.”Rupanya tuntutan social yang ada, janda atau duda lebih dihargai dibandingkan masih perawan pada usia 17 tahun”.
Meski sudah menemukan Ninok sudah berlalu 3 tahun lalu, KARTINI penasaran menelusurinya. Sungguh memprihatinkan.

KARENA KEPERCAYAAN TURUN TEMURUN

Mengaitkan nama Desa Tegaldowo dengan pernikahan dini ternyata sudah menjadi rahasia umum di Kabupaten Rembang. “Ini sudah menjadi image buruk bagi desa kami,”ujar Suyanto, Kepala Desa Tegaldowo. “Sebenarnya malu karena di setiap pertemuan sampai tingkat kabupaten, begitu terkenalnya dengan pernikahan muda.”
Pernikahan di usia anak-anak bukanlah hal tabu bagi masyarakat di sana. Malahan orang tualah yang menjadi pelaku terlaksananya pernikahan dini. “Sebenarnya sekarang sudah banyak yang menyadari itu tidak baik,” ujar Suharti (40), seorang yang prihatin dengan desanya.
“Sayangnya tak bias melepaskan diri dari kepercayaan yang mereka yakini. Kepercayaan bahwa apabila mempunyaianak perempuan dan ditanyakan atau diminta seorang laki-laki harus diterima. Apabila menolak, maka tak aka nada yang berani melamar anak perempuan tersebut di kemudian hari.
Para orang tua ini, menurut cerita Suharti, tidak memedulikan apakah si anak mau dinikahkan atau tidak, mengerti atau tidak, pokoknya menikah lantaran sudah ada yang meminta.
“Kalau nanti setelah pernikahan terjadi perceraian, itu tidak masalah. Orang tua lebih menerima anaknya disebut janda ketimbang dipanggil perempuan yang tidak laku-laku. Pada akhirnya memang, tak banyak dijumpai perempuan di tegaldowo yang berusia kepala dua masih lajang.
Orang tua pun akan tetap melansungkan pernikahan meski hatinya mungkin enggan. Sebab menolak berarti membuka perseteruan. Menurut Kasmin (56), salah satu orang tua di sana, dirinya sebagai bapak akan merasa sakit hati kalau misalnya ia melamar, lalu ditolak. “Rasane methu sungu nang ati tur landhep (rasanya tanduk tajam di hati-red),”ujar bapak tiga anak ini.

5 TAHUN TERAKHIR INI ADA PERUBAHAN
 
Bagi para orang tua di sana, pernikahan anak mereka meski dalam usia yang relative muda tak lain demi kebanggaan tau prestise. Apalagi bila si pelamar membawa kerbau sebagai tanda pinangan, menambah sukacita keluarga calaon pengantin perempuan. Dulu sebelum masa reformasi, menurut Suharti, tradisi menikahkan anak perempuan lebih tragis lagi. Cukupa banyak terjadi anak perempuan usia dibawah 12 tahun sudah dinikahkan dengan pria yang berusia 20 tahunan lebuh. Kakak Suharti salah satunya. Saat itu sang kakak berumur 9 tahun sudah dilamar. Pernikahan itu bertahan beberapa bulan saja. Beruntung kakaknya dapat melanjutkan pendidikan lantaran orang tuanya guru.
Wiwik (41) mengisahkan dirinya dulu juga dinikahkan orang tuanya saat berumur 14 tahun dan calon suaminya berusia tiga puluh lima tahun. Ia mengaku dirinya masih bodoh saat itu, namuntak mampu berbuat banyak selain menerima.
Namun ditegaskan Suharti, 5 tahun terakhir ini, menikahkan anak perempuan usia SD sudah jarang bahkan tidak pernah terjadi lagi. Kalau toh Ninok menemukannya, sudah sangat langka. Saat ini usia menikah meningkata pada usia SMP 15-16 tahunan. Meski UU Perkawinan sudah menetapkan menikah di usia menimal 20 tahun, akan tetapi tetap saja marak pernikahan pada usia 18 tahun.
Sekali lagi, ini karena tradisi yang masih kental. Memercayai lamaran adalah hal yang harus diterima, maka tak lain jawaban dari pihak perempuan kecuali mengangguk. Untuk menunjukkan penerimaan, akan dibuat ungkapan syukur yang dikenal dengan istilah ngemblong, berupa pemberian antaran makanan kepada pihak laki-laki.
Diceritakan Suharti, kadang untuk membuat antaran makanan ini pihak perempuan sampai menjual sapid an hasil bumi demi memperlihatkan kebanggan atas lamaran pada anak perempuan mereka. Setelah proses ini, calon pengantin laki-laki lansung dating dan menginap di rumah calonnya. Meski belum ada ikatan pernikahan, bagi mereka setelah proses ngemblong, seolah-olah anak perempuan itu sudah menjadi miliknya. Namun, ada pula yang tetap melewati masa pacaran setelah proses antaran ini.
 
KEBANYAKAN TAK TAHU HARUS MENIKAH

Berdasarkan penelusuran KARTINI di sana, dari informasi kepala desa, sesepuh maupun para orang tua, pernikahan dibawah usia belasan memang sudah tidak ada lagi. Namun tetap saja pernikahan dini- di usia 15 tahunan-masih banyak terjadi. Herannya biarpun sudah usia 15 tahun misalnya, banyak yang tak tahu kalau ia harus menikah.
Ini diceritakan Suharti  yang juga relawan di lembaga swadaya masyarakat LAN Indonesia. Seorang anak usia 14 tahun, sebut namanya Suryati, dinikahkan hari itu. Remaja itu melenggang santai di rumahnya. Ketika seorang kawan dekatnya bertanya, siapakah calon suaminya, Suryati menjawab ringan,”Ah, embun ora eruh (Ah tidak tahu siapa-red), jawabnya masa bodoh dengan pernikahannya hari itu.
Lain pula Parmi (16). Ia yang sebenarnya tidak ingin menikah dengan Tono harus tetap melansungkan pernikahan akibat paksaan san bapak. Pada saat pernikahan, tampak raut wajahnya yang sedih, tapi pasrah menerima nasib. Liat di pelaminan, duduknya pun miringmenjauh dari pengantin laki-laki. Setelah beberapa bulan melansungkan pernikahan, Parmi ingin bercerai, namun sang bapak menghalanginya dengan keras. Atas dasar bakti terhadap orang tua, Parmi pun batal bercerai.
Beda dengan kisah Koko(10), ia yang masih sekolah di kelas lima sekolah dasar satu hari di jemput keluarganya untuk dinikahkan. Koko adalah adik laki-laki Fajar(19), yang kabur saat hari pernikahnnya dengan Yuni (14) sudah dekat. Pihak oran tua Yuni tidak bias menerima kaburnya Fajar. Mereka malu karena sudah mengumumkan pernikahan anak mereka, maka mengancam pihak keluarga Fajar untuk menyediakan pengantin laki-laki siapa pun asalkan tetap ada penganti laki-lakinya. Karena bingung Koko yang masih mengenakan seragam muka dijemput dan dijadikan laki-laki dadakan. Yuni sendiri merasa malu karena harus menikah dengan anak SD, namun apa bias dikata, ayahnya begitu kolot dank eras kepala.
Cerita hidup Surti, Parmi, Rini, dan Yuni hanyalah sebagaian contoh dari realita miris anak-anak perempuan di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

 
PERMASALAHAN YANG KOMPLEKS

Tegaldowo adalah sebuah desa di Kecamatan Gunem, Rembang. Terletak 37 kilometer dari pusat Kota Rembang. Luas daerah ini 1.061,85 hektar dengan pohon jati milik Perhutani di sepanjang jalan menuju desa. Daerahnya berada di dekat perbatasan Rembang dan Blora. Daerah iniberada di rangkaian Pegunungan Botak, begitu masyarakat menyebutnya, pegunungan yang tersusun dari batu kalsit atau perbukitan kapur.
Tegaldowo juga terkenal karena menjadi arus perlintasan desa-desa sekitarnya. Desa ini begitu sederhana, pasar tradisional di pagi hari menjadi keramaian desa ini. Sedangkan tampilan rumah penduduknya berbentuk joglo khas masyarakat jawa, namun hamper di setiap rumah memiliki ternak seperti sapi atau kambing. Mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai petani.
Selain terpencil, tingkat pendidikan di desa ini juga cukup memprihatinkan. Menurut data tahun 2008, jumlah penduduk yang buta huruf sebanyak 900 orang. Yang tidak tamat sekolah dasar 1637 orang, yang tidak  tamat SLTP 351 orang, dan tidak tamat SLTA 41 orang. Yang melanjutkan sampai perguruan tinggi bisa dihitung dengan jari. Meski demikian, data untuk mereka yang tamat SD pada 2008 sebanyak 2.046 orang. Rendahnya lulusan pendidikan di sana erat kaitannya dengan tradisi menikah muda di desa ini.
Menurut data dari KUA Gunem, dari Januari 2008 sampai Juni 2009 tercatat 21 pernikahan di bawah usia 16 tahun. Hal ini di akui oleh Suyanto, Kepala Desa Tegaldowo. Dirinya menyayangkan maraknya pernikahan dini dan selalu mengadakan penyuluhan dan nasihat kepada warganya. Namun permasalahannya ini tak semudah membalikkan telapak tangan karena telah berlansung lama bahkan sejak dia belum lahir.”pernikahn di bawah 16 tahun memang tidak boleh. Tetapi kalu tidak member stempel, dianggap tidak menjalankan tanggung jawab sebagai abdi masyarakat,” ujarnya berkeluh kesah.
Untuk mengurangi keinginan warganya, Suyanto bekerja sama dengan Kantor Urusan Agama (KUA) di Gunem. Dengan apa adanya tetap mencamtumkan tanggal lahir anak dengan harapan KUA akan menolak permohonan menikahkannya.
Menurut Djabar Alif, SH, Kepala KUA Gunem, pihaknya berusah tegas menolak permohonan pernikahan apabila anak di bawah umur. Meski menolak, KUA memberikan surat dispensasi yang di ajukan ke Pengadilan Agama (PA), yakni surat persetujuan dan peninjauan khusu dari PA. karena keinginan menikahkan anak begitu kuat, proses di pengadilan agama pun di tempuh. Persidangan digelar, hadir calon pengantin untuk ditanyai hakim.
Menurut Ketua PA Rembang, Drs. Zaenal Hakim SH, pihaknya tak serta merta mengabulkan setiap dispensasi yang di ajukan warga.”Banyak yang ditolak terutama yang berusia 12 Thun kebawah,”jelasnya.
Dalam persidangan, lanjut Zaenal, seorang hakim akan mempertanyakan kesiapan secara mental si anak yang akan menikah. Pertanyaannya antar lain berkisar sejauh apa mereka mengerti tentang perkawinan, juga permaslahan sesuatu yang najis memahami atau tidak. Upaya ini ditempuh juga untuk memperlambat perkawinan dini setidaknya sampai umur si anak 16 tahun.
Namun, menurut Bari, Kepala Dusun Nglencong, Tegaldowo, dispensasi hendaknya dihilangkan.”Dispensasi ini justru menjadi celah masyarakat memuluskan menikahkan anaknya yang masih muda,”ujarnya. Selama ada dispensasi ini, katanya pihak desa maupun KUA tidak mampu berbuat apa-apa.
Dilematisnya dispensasi pernikahan, Zaenal Hakim menanggapi bisa direvisi. Namun PA sebagai lembaga di bawah Mahkamah Agung tak dapat mengubahnya. Ia menyarankan agar masyarakat menempuh menyampaikan aspirasinlewat DPR RI, karena PA sekedar melakukan peraturan. Namun,pihaknya mendukung apabila UU perkawinan ini hendak direvisi mengikuti perkembangan zaman.


 
TANGGAPAN SAYA :
Fenomena yang terjadi di Desa TEgaldowo, Rembang yakni pernikahan anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar sungguh sangat mencengangkan. Menjodohkan anak yang masih kecil saja sudah sangat jarang terjadi di abad 21 ini apalagi pernikahan yang terlampau dini. Bagaimana mungkin, di zama semodern ini masih ada orang tua yang taku anak gadisnya yang akan lulus SD menjadi perawan tua lantaran belum dinikahi laki-laki calon suami gadis belia tersebut. Pola pikir masyarakat yang demikian tidak lain karena didasari kepercayaan akan mitos yang menyebutkan jika orang tua yang memiliki anak perempuan yang dilamar pria untuk dinikahi haruslah diterima, jika menolak maka anak perempuan itu takkkan mendapatkan jodoh di kemudian hari.
Perkawinan usia dini yang terjadi di Tegaldowo cenderung di dominasi oleh orang tua anak, terlebih melihat adanya orientasi kebutuhan social orang tua dalam bentuk nilai social dimana anak memiliki nilai tukar yang berharga dalam keluarga ketika anak tersebut telah dikawini oleh anak laki-laki. Namun, pandangan orang tua seolah-olah tidak mengedepankan masa depan kelansungan perkawinan anak itu sendiri, hal ini dapat diliha tdari sikap orang tua yang tidak terbebani dengan status janda atau dudda yang melekat pada diri anak mereka. Jelas pandangan ini berseberangan dengan pandangan umum dimana orang tua akan terbebani ketika anaknya gagal dalam membangun sebuah keluarga. Pandangan umu yang sama juga terlihat pada alas an medis dalam memandang perkawinan yang terlampau dini tersebut. Secara medis, anak perempuan berusia di bawah 16 tahun masih dianggap belum matang secara seksual karena organ reproduksinya belum terbentuk sempurna sehingga tidak d anjurkan untuk menikah.
Adapun dampak psikologis yang timbul akibat pernikahan belia yaitu keterkejutan akan perubahan drastic dalam hidupnya, pada usia tersebut, anak-anak cenderung masih senang bermain dan menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Namun, akibat pernikahan dini tersebut, segala kebebasan dan keceriaan mereka seolah-olah terenggut, gadis-gadis belia tersebut dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka sekarang adalah seorang istri yang bertugas mengurusi pekerjaan rumah tangga dan juga melayani suami. Depresi berat akibat pernikahan dini ini bisa saja terjadi dimana anak akan menarik diri dari pergaulan, menjadi pendiam, bahkan dapat menjadi seorang yang terganggu jiwanya.
Pernikahan dini juga menimbulkan maslah dari segi pendidikan dan kesejahteraan hidup. Kebanyakan para pengantinnya hanyalah lulusan SMP, SMA, atau bahkan siswa yang masi menempuh pendidikan sekolah dasar, minimnya pendidikan berimbas pada semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan pendapatan ekonomi keluarga sehigga kesejahteraan hidup merekapun bermasalah.
Menikah itu hak semua orang. Tapi permasalahannya, jika usia terlalu muda apakah mereka siap secar psikologis. Untuk hidup berumah tanggga diperlukan menueluruh, baik jiwa,pikiran,fisik biologis, maupun materi.
Sekian saja tanggapan saya untuk artikel ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih juga untuk teman saya AD, atas segala bantuannya. Hhe :)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar